--> Skip to main content

Pajak Properti yang Harus Dibayar oleh Pembeli Properti di Indonesia

namaguerizka.com Pembelian properti di Indonesia, baik itu berupa rumah, apartemen, atau tanah, tidak hanya melibatkan transaksi antara penjual dan pembeli, tetapi juga terdapat beberapa kewajiban pajak yang harus dipenuhi oleh pembeli. Pajak properti ini bertujuan untuk mengatur, mengelola, serta mengoptimalkan pendapatan negara yang diperoleh dari sektor properti. Berikut adalah berbagai jenis pajak properti yang umumnya dikenakan dalam pembelian properti di Indonesia.

1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu pajak yang umum dikenakan pada transaksi properti. PPN berlaku untuk pembelian properti yang dilakukan oleh pembeli dari pengembang (developer) atau penjual yang memiliki status sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Besaran PPN yang dikenakan pada transaksi properti adalah sebesar 11% dari harga jual. Namun, properti dengan harga jual tertentu yang memenuhi syarat sebagai rumah sederhana atau rumah sangat sederhana dapat memperoleh pembebasan PPN, sehingga tidak semua transaksi properti dikenakan pajak ini.

Untuk menghitung jumlah PPN yang harus dibayar, caranya adalah sebagai berikut:

PPN = Harga Jual Properti x Tarif PPN

Sebagai contoh, jika harga properti adalah Rp 500.000.000, maka PPN yang harus dibayarkan adalah: PPN = Rp 500.000.000 x 11% = Rp 55.000.000

2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

PPnBM atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah merupakan pajak yang dikenakan pada properti yang masuk kategori barang mewah. Biasanya, PPnBM dikenakan pada properti yang memiliki harga jual di atas batas tertentu dan dengan luas bangunan di atas ukuran tertentu, misalnya rumah atau apartemen mewah. Pemerintah menetapkan tarif PPnBM yang berbeda tergantung pada kriteria dan spesifikasi properti tersebut. Tarif PPnBM untuk properti bisa berkisar antara 20% hingga 40%, bergantung pada kebijakan yang berlaku.

Tujuan dari penerapan PPnBM ini adalah untuk mengendalikan konsumsi barang-barang mewah serta sebagai salah satu cara pemerintah memperoleh pendapatan tambahan dari sektor barang mewah. Properti yang dikenakan PPnBM juga sering kali dianggap sebagai properti yang bukan kebutuhan primer sehingga dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi.

3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan pada setiap peralihan hak kepemilikan atas tanah dan/atau bangunan. BPHTB ini sering kali dikenal dengan istilah pajak pembelian properti. Tarif BPHTB adalah 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). NPOPKP diperoleh dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang dikurangi dengan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), yaitu batas nilai tertentu yang tidak dikenai pajak.

Untuk menghitung BPHTB, berikut adalah rumusnya:

BPHTB = 5% x (NPOP - NJOPTKP)

Contohnya, jika nilai transaksi (NPOP) adalah Rp 1.000.000.000 dan NJOPTKP sebesar Rp 80.000.000, maka BPHTB yang dikenakan adalah:

BPHTB = 5% x (Rp 1.000.000.000 - Rp 80.000.000) = 5% x Rp 920.000.000 = Rp 46.000.000

4. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah jenis penerimaan yang diperoleh dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah di luar pajak. Dalam konteks properti, PNBP yang dibayarkan biasanya terkait dengan administrasi dalam proses pendaftaran dan peralihan hak atas tanah dan bangunan, seperti dalam proses sertifikasi tanah, balik nama sertifikat, atau pembuatan surat-surat resmi lainnya. Besaran PNBP ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan oleh instansi terkait.

PNBP ini lebih bersifat sebagai retribusi yang digunakan untuk menutupi biaya administrasi negara. Pembayaran PNBP biasanya dilakukan saat proses pembuatan akta jual beli di kantor notaris atau saat melakukan pendaftaran properti ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

5. Bea Balik Nama (BBN)

Bea Balik Nama (BBN) adalah pajak yang dikenakan pada peralihan kepemilikan properti dari nama pemilik lama ke nama pemilik baru. BBN diperlukan untuk memperjelas status kepemilikan atas tanah dan bangunan yang telah diperjualbelikan. Tarif BBN ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah (pemda) dengan besaran yang bisa bervariasi antar wilayah, namun umumnya berkisar antara 1% hingga 5% dari harga jual atau nilai properti yang tercantum pada Akta Jual Beli.

Proses balik nama ini biasanya dilakukan di kantor BPN, di mana pemilik baru harus menyerahkan beberapa dokumen, seperti akta jual beli, sertifikat tanah, dan bukti pembayaran pajak yang terkait. Sebagai contoh, jika properti yang dibeli memiliki nilai transaksi sebesar Rp 500.000.000 dan tarif BBN di daerah tersebut adalah 2%, maka biaya BBN yang harus dibayarkan adalah:

BBN = 2% x Rp 500.000.000 = Rp 10.000.000

Rangkuman

Pembayaran pajak-pajak tersebut menjadi bagian yang harus dipenuhi oleh pembeli properti agar status kepemilikan properti yang dibeli menjadi sah secara hukum. Selain itu, pembayaran pajak juga memastikan adanya kontribusi pembeli terhadap pendapatan negara yang kemudian digunakan untuk pembangunan dan layanan publik. Sebaiknya, pembeli melakukan perhitungan secara cermat atas seluruh biaya pajak yang harus dibayarkan dalam proses pembelian properti agar tidak terjadi kekurangan dana saat melakukan transaksi.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar

Advertiser