Pengaturan Outsourcing dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
namaguerizka.com Outsourcing atau alih daya adalah salah satu sistem kerja yang memungkinkan perusahaan utama menyerahkan sebagian tugas atau pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Di Indonesia, outsourcing telah lama menjadi salah satu bentuk hubungan kerja yang diatur secara hukum. Pengaturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pekerja, pemberi kerja, maupun perusahaan alih daya. Salah satu regulasi terbaru yang mengatur outsourcing adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU 6/2023).
Dasar Hukum Outsourcing: Pasal 64 UU 6/2023
Dalam UU 6/2023, pengaturan tentang outsourcing dapat ditemukan pada Pasal 64. Pasal ini menyebutkan bahwa perusahaan diperbolehkan untuk menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, dengan syarat dilakukan melalui perjanjian tertulis. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
> “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian tertulis, baik berupa perjanjian pemborongan pekerjaan maupun penyediaan jasa pekerja/buruh.”
Poin penting dari Pasal 64 ini adalah bahwa penyerahan pekerjaan kepada pihak ketiga tidak dapat dilakukan sembarangan, tetapi harus memenuhi ketentuan hukum yang berlaku. Pemerintah juga berwenang menentukan jenis pekerjaan yang dapat dialihkan ke pihak ketiga.
Pengaturan Teknis: Jenis Pekerjaan yang Boleh Dialihkan
Selain Pasal 64, aturan pelaksanaan outsourcing juga diatur dalam peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam PP ini, pemerintah menetapkan bahwa outsourcing hanya boleh dilakukan untuk pekerjaan tertentu yang:
1. Tidak berkaitan langsung dengan kegiatan utama perusahaan.
Pekerjaan yang dapat dialihkan biasanya adalah pekerjaan pendukung seperti kebersihan, keamanan, katering, atau transportasi.
2. Ditetapkan oleh pemerintah.
Pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan daftar pekerjaan yang dapat dialihkan melalui outsourcing, sehingga tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan ke perusahaan alih daya.
3. Dilakukan melalui perjanjian yang transparan.
Perjanjian tertulis antara perusahaan pemberi kerja dan perusahaan penyedia tenaga kerja harus mencakup hak dan kewajiban para pihak, termasuk perlindungan bagi pekerja.
Perlindungan bagi Pekerja Outsourcing
UU 6/2023 dan peraturan turunannya juga menekankan pentingnya perlindungan bagi pekerja outsourcing. Beberapa perlindungan tersebut meliputi:
1. Kepastian hubungan kerja.
Pekerja outsourcing harus memiliki perjanjian kerja yang jelas, baik berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), sesuai dengan sifat pekerjaannya.
2. Kesetaraan hak.
Pekerja outsourcing berhak mendapatkan upah, jaminan sosial, dan fasilitas kerja yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Larangan diskriminasi.
Perusahaan penyedia tenaga kerja tidak diperbolehkan melakukan diskriminasi terhadap pekerja outsourcing, baik dalam hal pembayaran maupun akses terhadap perlindungan hukum.
4. Pengalihan status kerja.
Jika perusahaan pengguna mengambil alih pekerjaan yang sebelumnya dilakukan melalui outsourcing, pekerja dapat dialihkan menjadi karyawan perusahaan tersebut, dengan hak-hak yang tetap dijamin.
Implikasi Hukum bagi Perusahaan
Perusahaan yang melanggar ketentuan terkait outsourcing dapat dikenakan sanksi administratif atau denda sesuai dengan UU 6/2023 dan PP terkait. Misalnya, jika perusahaan tidak membuat perjanjian outsourcing secara tertulis atau menyerahkan pekerjaan yang tidak termasuk dalam daftar yang diizinkan, pemerintah dapat memberikan sanksi berupa:
1. Pencabutan izin usaha perusahaan alih daya.
2. Denda administratif bagi perusahaan pemberi kerja.
3. Kewajiban mengembalikan status kerja para pekerja outsourcing.
Kesimpulan
Outsourcing di Indonesia diatur secara ketat melalui Pasal 64 UU 6/2023 dan berbagai peraturan turunan lainnya. Regulasi ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan fleksibilitas perusahaan dalam menjalankan operasionalnya dengan hak-hak pekerja yang terlibat. Dengan adanya pengaturan ini, baik perusahaan pemberi kerja, perusahaan alih daya, maupun pekerja diharapkan dapat menjalin hubungan kerja yang transparan, adil, dan saling menguntungkan. Bagi pekerja, pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam skema outsourcing menjadi hal yang sangat penting agar mereka dapat melindungi diri dari potensi pelanggaran.