Siapa yang Menanggung Biaya QRIS?
namaguerizka.com Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai metode pembayaran digital terus meningkat di Indonesia. QRIS dirancang oleh Bank Indonesia (BI) sebagai standar pembayaran berbasis QR code untuk memudahkan transaksi digital. Dengan satu kode QR, konsumen bisa membayar melalui berbagai aplikasi pembayaran yang mendukung QRIS. Namun, muncul pertanyaan penting yang sering disorot: siapa yang sebenarnya menanggung biaya layanan QRIS?
Biaya Layanan QRIS dan Pihak yang Menanggungnya
Bank Indonesia telah menetapkan bahwa biaya layanan QRIS ditanggung oleh pedagang atau pelaku usaha yang menyediakan fasilitas pembayaran ini. Biaya tersebut dikenal sebagai Merchant Discount Rate (MDR). MDR adalah persentase tertentu dari nilai transaksi yang dibebankan kepada pedagang setiap kali konsumen menggunakan QRIS untuk pembayaran.
Saat ini, tarif MDR QRIS telah diatur sebagai berikut:
0,7% untuk transaksi reguler (umum).
0,6% untuk transaksi di sektor pendidikan.
0,5% untuk transaksi di sektor SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum).
0% untuk donasi, zakat, infak, sedekah, dan transaksi sosial lainnya.
Dengan kata lain, konsumen tidak dikenakan biaya tambahan saat menggunakan QRIS, tetapi pedagang harus membayar biaya ini kepada penyedia layanan pembayaran atau bank yang mereka gunakan.
Mengapa Biaya Ditanggung oleh Pedagang?
Kebijakan ini diambil dengan tujuan:
1. Meningkatkan Adopsi QRIS
Dengan membebaskan konsumen dari biaya, BI berharap semakin banyak masyarakat yang mau menggunakan QRIS sebagai metode pembayaran utama. Ini mendukung program nasional untuk mempercepat transformasi keuangan digital.
2. Meringankan Beban Konsumen
Jika biaya ditanggung oleh konsumen, potensi penggunaan QRIS mungkin menurun karena adanya tambahan beban biaya pada setiap transaksi. Dengan mengalihkan tanggung jawab biaya kepada pedagang, konsumen dapat merasa lebih nyaman bertransaksi.
3. Mendorong Digitalisasi Pelaku Usaha
Pembayaran digital memberi manfaat besar bagi pedagang, termasuk kemudahan pencatatan transaksi, keamanan uang, dan potensi peningkatan loyalitas pelanggan. Biaya MDR dianggap sebagai kontribusi pedagang untuk mendukung ekosistem pembayaran digital ini.
Reaksi dan Tantangan di Lapangan
Meskipun kebijakan ini bertujuan baik, tidak semua pedagang meresponsnya dengan antusias. Berikut adalah beberapa tantangan yang muncul:
1. Keluhan dari Pedagang Kecil
Banyak pedagang kecil merasa terbebani oleh MDR, terutama jika margin keuntungan mereka rendah. Sebagai contoh, pedagang makanan atau minuman dengan harga murah mengeluhkan bahwa biaya 0,7% terasa besar dibandingkan keuntungan yang mereka peroleh.
2. Penyalahgunaan Sistem
Beberapa pedagang berupaya menghindari MDR dengan meminta pembayaran tunai atau menolak QRIS untuk transaksi kecil. Hal ini bertentangan dengan semangat digitalisasi yang ingin dibangun oleh BI.
3. Kurangnya Pemahaman Konsumen
Konsumen kadang salah paham dan merasa bahwa pedagang sengaja membebankan biaya tambahan, padahal hal ini diatur dalam kebijakan MDR. Edukasi terhadap masyarakat dan pelaku usaha menjadi tantangan penting yang harus diselesaikan.
Upaya Bank Indonesia
Untuk mengatasi tantangan ini, Bank Indonesia telah melakukan beberapa langkah:
1. Edukasi dan Sosialisasi
BI terus mengedukasi masyarakat dan pedagang mengenai manfaat penggunaan QRIS dan pentingnya digitalisasi pembayaran. Sosialisasi dilakukan melalui berbagai media dan pelatihan langsung kepada pelaku usaha.
2. Program Insentif
Untuk meringankan beban pedagang kecil, pemerintah bekerja sama dengan penyedia layanan pembayaran untuk memberikan insentif tertentu. Salah satunya adalah subsidi biaya MDR untuk pelaku usaha mikro dan kecil.
3. Penyederhanaan Sistem
Bank Indonesia juga berupaya memastikan bahwa sistem pembayaran QRIS semakin mudah digunakan oleh semua pihak, baik konsumen maupun pedagang.
Kesimpulan
Biaya QRIS yang ditanggung oleh pedagang merupakan bagian dari kebijakan Bank Indonesia untuk mendorong digitalisasi pembayaran dan meningkatkan inklusi keuangan. Meskipun kebijakan ini mendapat tantangan, manfaat yang ditawarkan jauh lebih besar dalam jangka panjang. Dengan digitalisasi pembayaran, baik konsumen maupun pedagang dapat menikmati transaksi yang lebih cepat, aman, dan efisien.
Namun, penting bagi semua pihak, baik pemerintah, penyedia layanan pembayaran, maupun masyarakat, untuk mendukung terciptanya ekosistem pembayaran digital yang inklusif dan berkelanjutan. Jika semua pihak bekerja sama, transformasi keuangan digital di Indonesia dapat terwujud dengan lebih cepat dan merata.