Jerome Powell di Bawah Tekanan: Independensi The Fed Diuji
Tugas Berat Mengendalikan Inflasi Tanpa Membunuh Pertumbuhan
Sejak pandemi COVID-19, The Fed telah menjalankan kebijakan moneter ultra-akomodatif dengan memangkas suku bunga hingga mendekati nol dan melakukan program pembelian aset besar-besaran (quantitative easing). Namun, ketika inflasi melonjak tajam pasca pandemi—diperburuk oleh gangguan rantai pasok, perang di Ukraina, dan lonjakan harga energi—The Fed di bawah Powell terpaksa berbalik arah.
Suku bunga acuan (Fed Funds Rate) telah dinaikkan secara agresif dalam waktu singkat—tingkat kenaikan tercepat sejak era Paul Volcker pada awal 1980-an. Langkah ini dilakukan untuk meredam inflasi yang sempat mencapai titik tertinggi dalam empat dekade. Namun, kebijakan ini juga membawa risiko resesi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Banyak pihak menuding The Fed terlambat dalam merespons inflasi yang terus naik. Powell sempat menggunakan istilah “inflasi sementara” (transitory inflation), yang kemudian dikritik sebagai penilaian yang keliru. Meskipun belakangan The Fed mengoreksi arah kebijakannya, keterlambatan awal tersebut memunculkan keraguan akan ketepatan waktu dan efektivitas kebijakan moneter saat ini.
Tekanan Politik di Tahun Pemilu
Tahun 2024 menjadi tahun yang krusial, terutama karena bertepatan dengan pemilihan presiden AS. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan gejolak geopolitik, para politisi semakin intens memantau kebijakan The Fed. Presiden Joe Biden, meskipun secara umum menjaga jarak terhadap operasi The Fed, tentu tidak ingin melihat ekonomi melambat tajam menjelang pemilu.
Beberapa anggota Partai Demokrat mendorong agar Powell mulai mempertimbangkan penurunan suku bunga demi mencegah perlambatan ekonomi yang dapat memicu ketidakpuasan publik. Sebaliknya, beberapa politisi Republik justru menuntut kebijakan moneter yang lebih ketat untuk menekan inflasi, dengan menuduh Powell terlalu lunak di masa lalu.
Situasi ini menempatkan Powell dalam posisi yang sulit. Sebagai Ketua The Fed, ia secara prinsip harus menjaga netralitas dan independensi lembaga, namun tekanan politik—terutama di tahun pemilu—bisa menodai persepsi publik terhadap netralitas kebijakan moneter.
Ujian Independensi The Fed
Sejak krisis besar 1970-an, independensi The Fed menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga stabilitas ekonomi AS. Bank sentral yang bebas dari tekanan politik diyakini lebih mampu menjaga inflasi dan menghindari kebijakan populis jangka pendek yang bisa merusak fondasi ekonomi jangka panjang.
Namun, independensi ini terus diuji. Selain tekanan dari politisi, Powell juga menghadapi desakan dari pelaku pasar yang menginginkan kejelasan arah kebijakan moneter. Setiap kata dalam pernyataan Powell—baik dalam testimoni di Kongres maupun konferensi pers—selalu dianalisis dengan saksama oleh investor global.
Salah langkah komunikasi bisa memicu gejolak pasar, seperti yang pernah terjadi pada era “taper tantrum” tahun 2013. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara komunikasi yang transparan dan menjaga fleksibilitas kebijakan menjadi tugas yang semakin kompleks bagi The Fed.
Apa Dampaknya bagi Dunia?
Sebagai bank sentral dari ekonomi terbesar dunia, keputusan The Fed tak hanya berdampak bagi Amerika Serikat. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan suku bunga The Fed.
Kenaikan suku bunga AS dapat memicu aliran modal keluar dari pasar negara berkembang, menyebabkan depresiasi mata uang lokal, naiknya biaya utang, dan tekanan terhadap cadangan devisa. Di sisi lain, jika The Fed terlalu cepat menurunkan suku bunga, risiko inflasi global bisa kembali meningkat.
Oleh karena itu, keputusan Powell tidak hanya menjadi isu domestik AS, tetapi juga menyangkut kestabilan keuangan global. Dalam konteks ini, independensi dan kredibilitas The Fed menjadi faktor kunci dalam menjaga kepercayaan internasional.
Kesimpulan: Antara Tekanan dan Tanggung Jawab
Jerome Powell tengah menghadapi salah satu ujian terberat dalam masa jabatannya. Di satu sisi, ia harus melindungi ekonomi AS dari risiko inflasi dan resesi; di sisi lain, ia harus menjaga independensi The Fed dari intervensi politik yang kian terasa menjelang pemilu.
Dalam sejarah ekonomi modern, kredibilitas bank sentral kerap menjadi pembeda antara krisis dan stabilitas. Mampukah Powell mempertahankan garis independensi tersebut di tengah badai tekanan ini? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun satu hal yang pasti: kebijakan The Fed saat ini akan membentuk arah ekonomi dunia untuk tahun-tahun mendatang.