--> Skip to main content

Krisis Energi dan Inflasi: Apa yang Terjadi di Tahun 70-an dan Mengapa Itu Penting Hari Ini?

namaguerizka.com Ketika berbicara soal inflasi global, banyak orang berpikir tentang kebijakan bank sentral, pencetakan uang, atau nilai tukar mata uang. Namun, ada satu faktor eksternal yang sangat kuat dalam mendorong inflasi—yaitu energi, khususnya harga minyak.

Dalam sejarah modern, tidak ada dekade yang menunjukkan keterkaitan antara krisis energi dan inflasi lebih jelas daripada tahun 1970-an. Di masa itu, dunia mengalami dua guncangan harga minyak besar-besaran yang secara langsung memicu lonjakan inflasi, stagnasi ekonomi, dan ketegangan sosial-politik yang luar biasa.

Apa sebenarnya yang terjadi di dekade itu? Mengapa harga energi bisa memengaruhi seluruh struktur ekonomi global? Dan lebih penting lagi, mengapa peristiwa yang terjadi lebih dari 50 tahun lalu masih sangat relevan dengan situasi dunia saat ini?


Awal Krisis: Ketergantungan Dunia terhadap Minyak

Pada awal 1970-an, negara-negara maju mengalami lonjakan pertumbuhan ekonomi pasca-Perang Dunia II. Industri berkembang pesat, urbanisasi meningkat, dan konsumsi energi—terutama minyak bumi—melonjak. Minyak menjadi urat nadi kehidupan modern, dari transportasi, pembangkit listrik, hingga industri manufaktur.

Namun, ketergantungan yang tinggi terhadap minyak, khususnya dari kawasan Timur Tengah, membuat banyak negara Barat berada dalam posisi yang sangat rentan. Ketika gangguan pasokan terjadi, efeknya langsung menyentuh hampir semua lini ekonomi.


Krisis Minyak Pertama (1973): Embargo OPEC dan Gejolak Harga

Krisis energi pertama dimulai pada Oktober 1973, ketika negara-negara Arab anggota OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak) memberlakukan embargo terhadap Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya. Penyebab embargo ini adalah dukungan AS terhadap Israel dalam Perang Yom Kippur, konflik antara Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin Mesir dan Suriah.

Akibat embargo ini:

  • Pasokan minyak dari Timur Tengah ke AS dan Eropa terputus.
  • Harga minyak dunia melonjak hingga empat kali lipat dalam beberapa bulan saja.
  • Dari sekitar $3 per barel menjadi lebih dari $12 per barel.

Kenaikan harga minyak yang begitu cepat memicu inflasi biaya (cost-push inflation) karena biaya produksi, transportasi, dan logistik melonjak tajam. Perusahaan terpaksa menaikkan harga barang, dan konsumen mulai kehilangan daya beli.

Lebih buruk lagi, tidak ada pengganti langsung untuk minyak. Dunia belum mengembangkan energi alternatif secara serius. Krisis ini menunjukkan bahwa satu komoditas—minyak—dapat mengguncang seluruh sistem ekonomi global.


Krisis Minyak Kedua (1979): Revolusi Iran dan Gelombang Inflasi Baru

Belum sempat pulih sepenuhnya dari krisis pertama, dunia kembali dihantam krisis energi kedua pada tahun 1979. Kali ini penyebabnya adalah Revolusi Iran, yang menggulingkan pemerintahan Shah Pahlavi yang pro-Barat dan membawa rezim Islam radikal di bawah Ayatollah Khomeini.

Revolusi tersebut menyebabkan kekacauan dalam produksi dan ekspor minyak Iran, yang pada waktu itu merupakan salah satu produsen utama minyak dunia. Dunia pun kembali panik.

Akibatnya:

  • Harga minyak naik dua kali lipat hanya dalam waktu singkat.
  • Ketakutan terhadap ketidakpastian geopolitik mendorong spekulasi dan penimbunan.
  • Inflasi global yang sudah mulai mereda setelah krisis pertama, kini meledak kembali.

Dua guncangan harga energi dalam satu dekade membuat inflasi menjadi masalah struktural, bukan lagi sekadar fluktuasi sementara. Banyak negara mengalami stagflasi—kombinasi antara inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi rendah, situasi yang sangat sulit dihadapi dengan kebijakan ekonomi konvensional.


Mengapa Krisis Energi Menyebabkan Inflasi?

Ada beberapa alasan mengapa lonjakan harga energi, khususnya minyak, bisa memicu inflasi secara luas:

1. Kenaikan Biaya Produksi

Minyak adalah input utama dalam banyak proses produksi. Ketika harga minyak naik, biaya untuk mengoperasikan pabrik, mengangkut barang, dan menghasilkan energi pun ikut naik. Perusahaan akan meneruskan biaya ini ke konsumen melalui kenaikan harga.

2. Kenaikan Harga Transportasi dan Logistik

Minyak mentah diolah menjadi bahan bakar seperti bensin, diesel, dan avtur. Semua sektor yang bergantung pada distribusi dan transportasi akan terkena dampaknya langsung. Akibatnya, harga barang kebutuhan pokok pun ikut terdongkrak.

3. Efek Psikologis dan Ekspektasi Inflasi

Lonjakan harga energi menciptakan kekhawatiran luas akan inflasi lebih tinggi di masa depan. Ekspektasi ini membuat pekerja menuntut kenaikan upah, dan perusahaan menaikkan harga secara preventif—menciptakan spiral inflasi yang sulit dikendalikan.

4. Pelemahan Daya Beli Konsumen

Kenaikan harga energi berarti konsumen harus mengalokasikan lebih banyak pengeluaran untuk bahan bakar dan listrik, mengurangi daya beli mereka untuk barang dan jasa lain. Ini menyebabkan penurunan permintaan agregat dan pertumbuhan melambat.


Apakah Sejarah Akan Terulang?

Sekarang, mari kita tarik ke situasi hari ini. Apakah dunia menghadapi risiko krisis energi dan inflasi seperti di tahun 70-an?

Faktanya, beberapa kondisi serupa memang sedang terjadi:

  • Ketegangan geopolitik meningkat di Timur Tengah, Laut China Selatan, dan Ukraina. Gangguan terhadap jalur pasokan energi sangat mungkin terjadi.
  • Harga minyak dan gas global sempat melonjak pada 2022 akibat invasi Rusia ke Ukraina, dan meskipun sempat mereda, tetap berada dalam kisaran tinggi.
  • Ketergantungan dunia terhadap energi fosil masih tinggi, meskipun ada pergeseran ke energi terbarukan.
  • Kebijakan moneter longgar dan pencetakan uang besar-besaran pasca-pandemi menciptakan tekanan inflasi tambahan.
  • Krisis iklim dan cuaca ekstrem juga mulai memengaruhi produksi dan distribusi energi di berbagai negara.

Dengan kombinasi faktor-faktor ini, risiko inflasi energi tetap nyata dan bisa kembali menghantui perekonomian global, terutama jika bank sentral tidak hati-hati dalam merespons atau jika konflik geopolitik meningkat tajam.


Apa yang Bisa Dilakukan oleh Pemerintah dan Investor?

Menghadapi risiko inflasi akibat krisis energi, respons yang bisa dilakukan antara lain:

Bagi Pemerintah dan Bank Sentral:

  • Menjaga keseimbangan antara menahan inflasi dan mendorong pertumbuhan.
  • Meningkatkan investasi dalam energi terbarukan dan efisiensi energi.
  • Diversifikasi sumber energi untuk mengurangi ketergantungan pada minyak impor.
  • Menjaga stok strategis dan memperkuat cadangan energi nasional.

Bagi Investor dan Trader:

  • Mengawasi harga komoditas energi dan geopolitik sebagai indikator utama pasar.
  • Berinvestasi pada aset lindung nilai seperti emas, perak, dan saham sektor energi.
  • Menyesuaikan portofolio untuk menghadapi inflasi: seperti masuk ke sektor yang tahan inflasi (energi, bahan pokok, infrastruktur).
  • Menggunakan instrumen derivatif untuk melindungi posisi terhadap volatilitas harga minyak.

Kesimpulan: Energi dan Inflasi Akan Selalu Terhubung

Krisis energi di tahun 70-an adalah contoh kuat bagaimana harga minyak dapat mengguncang sistem ekonomi global. Ia mengajarkan kepada kita bahwa ketergantungan terhadap satu sumber energi, terutama yang rentan secara politik, dapat menjadi kelemahan strategis sebuah negara.

Hari ini, meskipun dunia telah berubah dan teknologi berkembang pesat, ketergantungan terhadap energi tetap menjadi titik lemah yang bisa memicu inflasi kapan saja. Dunia harus waspada, dan individu harus bijak menyikapi pergerakan harga energi sebagai salah satu sinyal paling penting dalam membaca arah ekonomi global.


Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh strategi menghadapi inflasi yang dipicu oleh energi atau ingin melihat tren harga komoditas terbaru dan dampaknya terhadap pasar keuangan, ikuti terus pembaruan kami di artikel berikutnya.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar

Advertiser